Tentang Halal Bihalal dan Ziarah
Kaum
muslimin yang berbahagia
Selama
satu bulan penuh kita telah menjalani ibadah puasa Ramadhan. Selama satu bulan
Ramadhan kita telah di uji keimanan dan ketaqwaan kita, adapun mengenai
berhasil atau tidaknya ujian yang kita terima selama satu bulan penuh dalam
Ramadhan itu, dapat dilihat implikasinya pada bulan-bulan berikutnya, misalnya
pada bulan Syawal ini. Sebagai contoh ringan saja, kalau selama dalam bulan
Ramadhan itu kita gemar membaca Al Qur’an, kemudian di bulan lainnya bulan Syawal
misalnya kita gemar membaca Al Qur’an, hal itu pertanda puasa kita itu telah
membekas dalam hati kita, begitu juga selama dalam bulan Ramadhan itu gemar
mengerjakan berbagai macam shalat sunnat, kemudian di bulan lainnya, kita masih
gemar mengerjakannya, hal itu juga sebagai pertanda puasa Ramadhan kita
membekas dan berpengaruh dalam kehidupan ini, sebaliknya kalau amal-amalan kita
tidak terbawa di bulan selain Ramadhan, berarti puasa Ramadhan kita itu tidak
membawa pengaruh dan tidak membekas dalam hati kita.
Kaum
Muslimin yang berbahagia
Sampai hari ini kita semua masih dalam
keadaan dan suasana hari raya. Yang berziarah juga masih banyak yang mengadakan
halal bihalal atau bermaaf-maafan juga belum selesai. Yang demikian ini memang
menjadi
menjadi kebiasaan atau tradisi di negeri tercinta kita, setahun sekali saling
memaafkan. Adat istiadat ini memang sangat bagus dan perlu dihidupkan terus,
asalkan tidak sampai menjurus sifat pemborosan, sehingga masuk pada golongan
kaum mubazir. Mengobral dan membuang uang berlebihan, misalkan jamuan makanan
yang disuguhkan amat besar-besaran, atau yang dihidangkan itu berupa minuman
keras, arak atau khamar atau makanan-makanan yang diharamkan oleh agama. Jika
demikian caranya, maka yang asalnya baik menjadi tidak baik, yang asalnya sunnah
menjadi maksiat. Adapun dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka itulah yang
dikehendaki oleh syariat islam.
Kaum
Muslimin yang berbahagia
Kiranya baik sekali kalau disini diterangkan nash-nash agama yang berhubungan dengan persoalan diatas, yakni bermaaf-maafan dan berziarah. Lebih dahulu tentang ziarah, dalam berziarah ini Rasulullah Saw. bersabda : “ada seorang yang berziarah ke tempat saudaranya karena se agama (bolehlah dianggap saudara) dalam satu desa, lalu Allah mengutus malaikat untuk mendatangi jalan yang dilaluinya. Setelah bertemu, lalu malaikat itu bertanya ‘kemana saudara akan pergi?’ jawabnya ‘hendak ke tempat saudara saya di desa ini’ malaikat bertanya ‘apakah kedatangan saudara itu karena ada sesuatu kenikmatan dari padanya yang akan saudara dapatkan?’ jawabnya ‘tidak, saya datang semata-mata karena saya mencintainya untuk mengharapkan keridhaan Allah’ kemudian malaikat itu bertanya lagi ‘ketahuilah sesungguhnya saya utusan Allah (untuk menemui saudara dan untuk mengatakan) bahwa Allah mencintai saudara sebagaimana saudara mencintai orang itu’” (HR. Imam Muslim)
Kisah
Teladan
Karunia
Kesabaran
Dari Abu Said yaitu Sa'ad bin
Malik bin Sinan Al-Khudri Radhiallahu
'anhuma
bahwasanya ada beberapa orang dari kaum Anshar meminta
sedekah kepada Rasulullah Saw, lalu beliau
memberikan sesuatu pada mereka
itu, kemudian mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya pula sehingga habislah harta yang
ada di sisinya, kemudian setelah habis membelanjakan segala sesuatu dengan tangannya itu
beliau
bersabda:
"Apa saja kebaikan - yakni
harta - yang ada di sisiku, maka tidak sekali-kali akan
kusimpan sehingga tidak kuberikan padamu semua, tetapi
oleh
sebab sudah habis, maka tidak ada yang dapat diberikan. Barang
siapa yang menjaga diri dari meminta-minta pada
orang lain, maka akan diberi
rezeki kepuasan oleh Allah dan barang
siapa yang merasa dirinya cukup maka akan diberi kekayaan oleh Allah yaitu kaya hati dan jiwa, dan barang siapa
yang berlaku sabar maka akan dikarunia kesabaran oleh
Allah. Tiada seorangpun yang dikaruniai suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas kegunaannya
daripada
karunia kesabaran itu." (Muttafaq 'alaih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar