ISLAM ITU AGAMA DAMAI
Kaum muslimin yang
berbahagia
Kita
tahu bahwa negara Indonesia adalah negara yang penduduknya paling banyak memeluk
agama Islam. Dari sekian banyak penduduk muslim Indonesia terdapat berbagai
perbedaan pemahaman syar’i, misalnya penetapan awal Ramadhan atau penetapan
awal bulan Syawal. Ada beberapa
perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama’ yang lain, hal itu wajar selama
dasar-dasar yang dimiliki bermuara pada Qur’an dan Hadist. Selain itu di Negara
kita ini juga terdapat beberapa madzhab atau mungkin lebih umum dikenal dengan
sebutan “aliran”, yang mana setiap madzhab memiliki tata cara ibadah amaliah
sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan setiap madzhab yang
dianut sangat diyakini oleh pengikutnya, hal itu juga wajar selama tatacara
ibadah amaliah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Hadist.
Namun masih ada peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kurangnya saling
pengertian dan memahami antar umat beragama sehingga terjadi konflik dan
kekerasan antara umat beragama padahal setiap dari umat beragama menginginkan
kedamaian dalam meyakini dan menjalani agama dan kepercaannya masing-masing.
Pada awal 2012 ini, kekerasan atas nama agama
terulang kembali dan menimpa komunitas Syiah di Sampang, Madura. Ratusan orang
menyerbu dan merusak bangunan pesantren Syiah. Tatkala toleransi menipis dan
upaya saling menghargai perbedaan keyakinan tidak ada dalam diri pemeluk umat
Islam, lahirlah kekerasan dan konflik sosialyang disebabkan oleh faktor
fanatisme dan egoisme dan juga kepentingan orang-orang terntentu.
Kaum muslimin yang
berbahagia
Sangat
disayangkan apabila diantara sesama umat islam saling membenarkan diri sendiri,
membenarkan “aliran” yang diyakininya dan mengganggap “aliran” lainnya keliru,
dan berujung pada pertikaian yang mengakibatkan kerusakan bahkan
korban nyawa. Padahal Rasulullah mengajarkan kepada kita, sesuai dengan sabda
beliau “Perbedaan diantara umatku adalah
rahmat”. Apakah hal tersebut tidak menyadarkan kita sebagai muslim yang
notabene mengikuti ajaran Nabi. Jika ada perbedaan yang dianggap serius dan
berakibat pada penistaan Agama, mengapa tidak diselesaikan secara dialog atau
cara-cara lain yang sesuai dengan petunjuk dalam agama. Allah juga menyampaikan
firmannya dalam Al Qur’an agar kita sesama umat Islam tidak bercerai berai,
saling menghormati dan saling merhargai agar tercipta kondisi beragama yang
tentram dan damai. Sebagaimana firman-Nya
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
(QS Ali Imran: 103)
Kaum
muslimin yang berbahagia
Imam Syafi’i adalah seorang ulama’
besar, faqih, pendiri madzhab yang pendapatnya banyak dipakai
oleh mayoritas umat muslim di dunia. Beliau ulama’besar yang sangat menghargai
perbedaaan. Dengan bijaknya beliau mengatakan bahwa pendapatnya benar namun
mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain itu salah namun juga mengandung
kebenaran (qauly shawab wa yahtamilu al-khatha’, wa qaulu al-qhair
khatha’ wa yahtamilu ash-shawab). Perkataan beliau di atas hakikatnya
mengajarkan kepada kita akan urgensi etika dalam dunia keilmiahan. Tidak pantas
rasanya seorang menganggap bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Padahal
kebenaran yang mutlak itu hanyalah milik Allah semata. Manusia itu
hanya berusaha menafsirkan apa yang dimaksudkan Allah dalam firmannya
berdasarkan ilmu yang mereka ketahui dan yakini. Tapi, sekali lagi tidak akan
mampu menyingkap (menyibak) maksud Allah SWT secara tepat. Andaikata mampu pun
mungkin masih mengandung kesalahan dan ketidaktepatan.
Di sisi lain, selayaknya perbedaan yang ada itu
dimaknai sebagai kumpulan pemikiran yang akan memperkaya khazanah keilmuan
Islam. Dengan demikian akan menjadikan Islam itu luwes yang tidak hanya
memiliki satu opsi pendapat yang saklek melainkan memunyai alternatif pendapat
yang relevan dan kesemuanya
dapat diamalkan. Hal ini karena semua pendapat yang ada adalah berdasarkan
perenungan dan ijtihad yang andaikata benar maka akan memperoleh dua pahala dan
jika salahpun masih memiliki satu ganjaran pahala (idza ijtahada
al-hakim fa ashaba fa lahu ajrani wa idza akhtha’a fa lahu ajrun wahidun). Tentu
jika iklim saling menghargai itu terus dikembangkan di kalangan para ulama’
akan menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, respektif dan akomodatif.
Kisah
Teladan
HIKMAH BIJAKSANA
DALAM WAKTU MARAH
Ketika
Rasulullah Saw sedang duduk-duduk di tengah-tengah para sahabatnya, salah
seorang pastor Yahudi bernama Zaid bin San’nah masuk menerobos barisan Jama’ah
yang melingkarinya, seraya menyambar kain Rasulullah dan menghardiknya dengan
kasar. Katanya, “Ya Muhammad! Bayarlah hutangmu. Kamu keturunan Bani Hasyim
biasa memperlambat pelunasan hutang.!”
Pada
waktu itu Rasulullah memang punya hutang kepada orang Yahudi itu, namun belum
jatuh tempo. Umar yang melihat peristiwa itu langsung bangkit dan menghunus
pedangnya, seraya memohon ijin. Ucapnya, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku
memenggal leher si bedebah ini!”
Tetapi
Rasulullah Saw bersabda, “Ya Umar, aku tidak disuruh berdakwah dengan cara begitu.
Antara aku dan dia memang sedang membutuhkan kebijaksanaanmu. Suruhlah dia
menagih dengan sopan dan ingatkanlah aku supaya melunasinya dengan baik.”
Mendengar
sabda Rasulullah Saw tersebut, orang Yahudi berkata, “Demi yang mengutusmu
dengan kebenaran. Sebenarnya aku tidak datang untuk menagih hutangmu, namun aku
datang untuk menguji akhlakmu. Aku tahu, tempo pelunasan hutang itu belum tiba
waktunya. Akan tetapi aku telah membaca sifat-sifatmu dalam Kitab Taurat, dan
ternyata terbukti semua, kecuali satu sifat yang belum aku uji, yaitu tentang
kebijakanmu bertindak pada waktu marah. Ternyata tindakan bodoh yang ceroboh
sekalipun engkau dapat mengatasinya dengan bijaksana. Itulah yang aku lihat
sekarang ini. Maka terimalah Islamku ini, ya Rasulullah, adapun hutangmu, aku
sedekahkan kepada para fakir miskin kaum muslimin.”
Mutiara Hikmah
v Sesungguhnya bermula
datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali asing. Namun
berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah
Saw, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing (aneh) itu?" Lalu
Rasulullah menjawab, "Orang yang melakukan kebaikan-kebaikan di saat
orang-orang melakukan pengrusakan." (HR. Muslim)
v Tiga perkara berasal
dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan "Laailaaha
illallah" karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari
Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah
mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak
dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3)
Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar